Bau harum menyergap saya saat menjejakkan kaki di pulau Sumba untuk pertama kalinya. Bandar udara Tambolaka berbau seperti bunga yang berbaur daun dan hutan. Inilah Sumba, dimana padang sabana berpagar pantai dan langit biru. Sumba, negeri para rato, dimana darah tertumpah untuk mengantarkan arwah.
Kota pertama yang saya tuju bernama Waikabubak, ibukota kabupaten Sumba Barat. Kota ini berjarak satu jam perjalanan dari bandara Tambolaka. Waikabubak banyak disarankan oleh para penggemar perjalanan sebagai pos untuk menjelajahi wilayah Sumba Barat dan sekitarnya.
Pemujaan terhadap arwah menyebabkan upacara pemakaman menjadi hal yang penting bagi penganut marapu. Mereka percaya bahwa orang yang meninggal harus diantar menuju alam arwah dengan upacara yang cukup. Jika tidak, rohnya akan melayang-layang sehingga dapat membahayakan kerabatnya maupun orang lain.
Upacara kematian melibatkan pengorbanan hewan dalam jumlah besar. Puluhan kerbau, kuda dan babi harus disembelih untuk melengkapi upacara. Jenazah kemudian diletakkan dalam lubang kubur atau dalam kubur batu. Meski kini warga sudah banyak yang menganut agama Kristen, upacara ini tetap dilakukan. Sebagian jenazah juga tetap dimakamkan dengan kubur batu yang berlambang salib.
Di dalam kampung, seperti juga di kota, saya banyak melihat warga yang menyandang parang. Rupanya penduduk asli Sumba terbiasa menyarungkan parang tajam ke pinggang, kemanapun mereka pergi. Seorang bapak yang saya temui dengan bangga menceritakan kisah tentang parangnya. Dia mengaku pernah menggunakan parang itu untuk membunuh orang. "Tapi itu dulu. Sekarang membawa parang menjadi salah satu cara saya untuk menjaga adat," kata bapak itu.
Darah dan perang bukan hal asing bagi penduduk asli Sumba. Konon pada zaman dahulu, penduduk desa punya kebiasaan memenggal kepala serta menguliti lawan yang kalah dalam perang antar suku. Desa ini punya tambur yang berlapis kulit manusia. Sayang saya tak boleh melihatnya karena tambur kecil ini hanya keluar saat upacara adat. Hingga kini perang antar suku masih terjadi karena berbagai alasan, antara lain perebutan batas tanah.
Suasana kampung ramai dengan ibu-ibu yang menenun kain di teras rumah. Tenunan ini dibuat dengan alat sederhana dan dihiasi lambang-lambang tradisional merapu. Selembar kain butuh waktu tenun satu hingga dua minggu dan akan dijual mulai harga Rp 50 ribu. Penduduk desa nampak sudah terbiasa dengan kedatangan turis, yang akan diminta mengisi buku tamu dan memberikan donasi. Anak-anak akan menyapa riang, dengan harapan mendapat sepotong gula-gula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar